KEBEBASAN BERFIKIR, RUANG KELAS, DAN KEBEBASAN BERPENDAPAT
- Hizbul.

- Mar 1, 2019
- 6 min read

Di era post-kolonialisme negeri ini di kampus-kampus masih menerapkan pola pikir kolonialisme. Post-kolonialisme artinya merujuk pada era setelah pengekangan Indonesia secara geografis dan intelektualitas oleh penjajah. Sesuatu yang saya kritisi dari prilaku masyarakat post-kolonial di negara saya adalah bahwa kita belum siap untuk memasuki fase era ini atau hanya baru bersiap(?). Dalam konteks intelektualitas kebebasan berfikir itu mirip seperti konsep pasar bebas ide namun ini akan saya bahas nanti. Selanjutnya dalam hal kebebasan berfikir tidak bisa dilepaskan dari apa yang kita sebut sebagai kebebasan berpendapat. Kita ingin menyuarakan pendapat kita, tanpa rasa takut. Kita pun berjuang untuk mewujudkan kebebasan berpendapat di masyarakat kita. Dalam hal ini, kita harus melawan kesempitan berpikir yang kerap melekat pada agama dan tradisi masyarakat kita. Dasar dari kebebasan berpendapat itu sendiri adalah kebebasan berfikir dimana dalam kondisi sekarang rasa terkekangnya kebebasan berfikir itu muncul karena sikap mengkoloni yang besar dari orang-orang tertentu dimana sifat ini membentuk pola tatanan seperti prilaku patriarki ditambah dengan hirarki. Dimana iklim kampus diera ini cukup menggambarkan rasa terkekangnya intelektualitas, petinggi kampus mengekang pikiran-pikiran mahasiswa dengan cara memanfaatkan posisi mereka, ruang kelas tidak lagi bebas, organisasi penuh dengan doktrin-doktrin pengkerdilan intelektual sama saja dengan petinggi kampus, dan di skala negara kebebasan berpendapat di bungkam pasal karet UU ITE. Namun sebelum semakin jauh dan semakin menyinggung raja dari singgasananya, saya akan jelaskan apa itu pikiran untuk memulai bahasan ini.
PIKIRAN
Apa itu pikiran?
Pikiran sendiri di devinisikan sebagai aktivitas mental manusia dalam kesadaran oleh Eric Baum (2004) dalam buku “What is Thought, Chapter Two: The Mind is a Computer Program” jadi berfikir itu mampu menghadirkan dunia sebagai suatu model kemudian secara efektif memanipulasinya untuk memenuhi tujuan, rencana, dan keinginan itu semua dimuat dalam apa yang disebut kognisi, pemahaman, kesadaran, gagasan, dan imajinasi. Berfikir itu artinya melibatkan sebuah proses modifikasi dan manipulasi terhadap informasi seperti saat kita membentuk konsep, terlibat dalam pemecahan masalah, melakukan penalaran, dan membuat keputusan. Namun pikiran manusia tidaklah sempurna ia punya kekurangan yaitu ia bukanlah cerminan dari kebenaran artinya tidak selalu mewakili kebenaran mutlak melainkan hanya mencerminkan dari aktivitas mental subjektif dari manusia itu saja. Banyak orang sibuk dengan pikirannya. Mereka mengira, bahwa pikirannya nyata. Mereka mengira, bahwa pikirannya adalah kebenaran. Inilah sumber dari segala penderitaan batin dan konflik antar manusia, yakni dari pikiran kacau yang dianggap sebagai kebenaran. Cukup saya tidak mau melanjutkan lebih jauh, silahkan telaah. Namun hal tadi ternyata melahirkan sesuatu yang buruk, berasumsi bahwa fikiran adalah sesuatu yang absolut bisa jadi menjadi sumber kenapa kita tidak merdeka lagi dalam berpendapat, How? .
Hirarki melahirkan anti-tesis dari kebebasan berfikir
Dialektika socrates menyebutkan bahwa dalam suatu perbincangan hangat disertai kopi akan melahirkan pikiran dimana pikiran itu disebut tesis dan akan menerima antitesis dari lawan berbincang. Mengutip pemikiran socrates bila diasumsikan bahwa kebebasan berfikir adalah tesis maka anti tesisnya adalah lawan dari kebebasan berfikir yaitu pengekangan berfikir. Kebebasan berfikir punya asosiasi erat dengan demokrasi karena demokrasi menjamin adanya perdebatan atau adu pikiran dalam ruang publik maka berkebalikan dengan keberadaan hirarki ia muncul karena adanya kasta dimana itu dimunculkan dalam suatu kesepakatan bersama (baca : ). Hirarki kasta menimbulkan perbedaan porsi kebebasan antar golongan. Maka saya mengatakan bahwa hirarki akan menghasilkan anti-tesis dari kebebasan berfikir.
Begaimana dengan indonesia? Bukankah Indonesia adalah negara demokrasi?
Pertanyaan seperti itu pantas ditanyakan pada negeri ini karena apa yang kita rasakan kadang berbeda dengan konsep kebebasan berfikir dalam konteks negara demokrasi. Sebut saja yang pernah ramai yaitu Undang-undang MD3 yang bisa berpotensi membuat kita tertangkap polisi karena mengkritisi atau mengutarakan pikiran kepada wakil rakyat tercinta karena pasal tersebut adalah pasal multi interpretasi yang artinya memiliki tafsir yang bisa saja berbeda-beda. Sebut saja ketika Dwiki berkata kepada pedagang bakso bahwa baksonya asin. Bisa saja karena takut tidak ada yang beli baksonya lagi di bapak bakso, bapak bakso melaporkan Dwiki ke pak RT. Disitu yang terjadi adalah sama yaitu DPR dan bapak bakso sama-sama tersinggung dengan kebebasan berpendapat seseorang, bentuk critisism orang terhadap dirinya, dan kedua hal tersebut adalah hasil dari pikiran mereka. Lebih jauh lagi di tempat paling intelek yaitu kampus, pengkerdilan intelektualitas terjadi. Terdapat mengekang pikiran dan membungkam kebebasan berpendapat disitu. Ruang kelas berubah menjadi tempat doktrin manusia dan pemasungan pikiran, but why?.
Pikiran yang Terdoktrin
Doktrin dimaknai sebagai suatu bentuk tindakan mengharuskan/memaksakan bahwa suatu harus diyakini dan dibenarkan seperti apa yang disampaikan. Doktrin biasanya ada pada agama dimana kita dilarang menanyakan sesuatu mengenai agama padahal bisa saja itu menambah keimanan. Suatu peryataan menarik saya temukan pada kolom kompasiana pagi tadi (11 nov 2018) yang membicarakan tentang dogma.
Dalam sebuah dialog tentang anak yang diselenggarakan Homeschooling Freethinkers, seorang warga negara Amerika berujar kepada saya: “Semua anak pada mulanya adalah tidak beragama (atheis). Sampai orang tua memasukkan hal-hal konyol seputar Tuhan, malaikat dan keajaiban lainnya terhadap mereka, lalu melabeli semua itu sebagai bagian dari agama.“
“Sedari kecil anak-anak telah dijauhkan dari kebebasan berpikir. Orangtua membentuk mereka sebagai pewaris sebuah dogma. Anak-anak pun tidak diizinkan untuk mempertanyakannya secara kritis. Sebab, mempertanyakan doktrin agama dipandang sebagai perbuatan dosa,” lanjutnya. dikutip dari (https://www.kompasiana.com/mansurni/55fcf61f147b618605ce71da/jangan-labeli-anak-dengan-doktrin-agama?page=all)
Saya mempercayai sebegaimana yang dituliskan bahwa anak-anak harus mengenal konsep dari kebebasan berfikir ini dimana anak-anak pada dasarnya manusia yang bebas. Mereka senang sekali bertanya. Nalurinya dipenuhi dengan keingintahuan. Segala yang dilihat dan didengar merupakan hal baru baginya. Di Indonesia dogma sudah sangat kental ketika anak-anak mereka para orang tua bertanya sesuatu mengenai agama maka jawaban mereka adalah cenderung no respon, menyuruh tidak bertanya, bahkan cenderung memberi dokrtin agama (dogma) dengan kata-kata lejen “imani saja, jangan banyak tanya”.
Maka ikatan doktrin ini terus menjalar dan berlanjut ke institusi pendidikan seperti kampus. Dosen atau guru mengajarkan sesuatu berdasarkan teknik yang saya sebut “sodok-menyodok ilmu” yang dasarnya juga sama “doktrin” ditambah mahasiswa no life yang “kupu kupu” (kuliah pulang – kuliah pulang) mereka hanya menerima berlapang dada sambil menyodorkan uang spp berjuta-juta persemesternya. “Satu-satunya tempat paling bebas di alam semesta adalah ruang kelas. Sebab di ruang kelas orang hanya bertumpu pada kekuatan argumen. Jadi apapun pikiran orang, dia harus bisa disajikan untuk dibantai. Termasuk pikiran tentang surga, pikiran tentang nasionalisme. Jadi, ga ada alasan bahwa kampus itu menutup diri dari semacam “oh canggung, hari ini soal agama segala macem” bukan begitu. Agama itu dibahas di kampus bukan keyakinannya, tetapi argumen tentang agama, argumen tentang keyakinan. Jadi, itu sebetulnya yang menyelamatkan dunia Eropa dari perkelahian perang agama disana. Karena kampus membuka diri untuk memeriksa argumentasi yang teologiskah, yang metafisik” (dikutip dari ucapan rocky gerung). Di ruang kelas kampus seharusnya yang menjadi tolak ukur pertama itu intelektualitas. Dimana dengan intelektualitas anda mampu memberi kekuatan terhadap argumen. Dengan terbuka, bebas mengutarakan pendapat, beragumen, dan kritis. Dengan argumen yang bermutu artinya argumen terbuka untuk dikritisi. Dengan cara itu dialektika akan terbentuk, tesis bertemu anti-tesisnya dan akhirnya bersintesis.
Jadi kalau bilang, “pokoknya gue yakin ya begini” you jangan debat. You bilang “pokoknya” itu artinya you menutup peluang untuk bertengkar secara rasional. Gitu, dong.
Membentuk pasar bebas ide
“When men have realized that time has upset many fighting faiths, they may come to believe even more than they believe the very foundations of their own conduct that the ultimate good desired is better reached by free trade in ideas—that the best test of truth is the power of the thought to get itself accepted in the competition of the market, and that truth is the only ground upon which their wishes can be carried out. That, at any rate, is the theory of our Constitution. It is an experiment, as all life is an experiment." - Oliver Wendell Holmes, Jr.
Pasar bebas ide adalah konsep dimana ide adalah sesuatu yang di perjual belikan dalam alam demokrasi dimana pasar bekerja sebebas-bebasnya yang menentukan adalah konsumen dalam mengambil ide yang dipilih. Kondisi ini adalah kondisi dimana ide di tumpahkan dan saling mengkritisi sehingga masyarakat yang cerdas mampu mengunduh informasi yang terbaik untuknya. Pertama, menurut saya, seseorang bisa dikatakan cerdas jika ia mampu mengolah informasi yang dipenetrasikan ke dalam lingkungannya, maupun secara individu. Entah itu opini populer, opini yang sering dikumandangkan teman-temannya, argumen over-used yang sering ia dengar, maupun ujaran yang sering diunggah ayah-ibunya di WhatsApp. Ia mampu secara logis mengunduh informasi tersebut di dalam otaknya, memilah secara rasional, menguji pengetahuannya, menguji kemampuannya dalam logical reasoning, mencari kebenaran melalui jurnal atau esai, maupun media informasi lainnya. Barulah ia dikatakan bisa kompatibel dengan pergerakan arus zaman yang cepat dan beradaptasi dengan semua informasi di era ini.
saya percaya jika ada banyak ide dituangkan dalam suatu wadah ruang publik, masyarakat yang cerdas dalam mengolah informasi bisa ikut memilah produk. Seperti konsep Marketplace of Ideas yang dituliskan oleh John Stuart Mill dalam bukunya On Liberty (1859). Kinerjanya seperti pasar pada umumnya, tapi dalam konteks ini, ide adalah komoditas. Siapa saja pelaku ekonominya? Produsen adalah kita semua, konsumen juga kita semua, distributor bisa kita semua sebagai media. Sangat kongruen dengan konsep demokrasi (Aurelia vizal, www.qureta.com/post/pasar-bebas-ide-dalam-masyarakat-demokratis). Disinilah kebebasan berfikir berperan penting dalam menerima informasi mengolah dan bahkan mengkritisinya. Terakhir, Indonesia berada dalam fase menuju negara demokrasi yang baik “menuju”, kapan akan sampai? , kapan kemerdekaan dalam berfikir dijamin sepenuhnya?, kapan intelektualitas tidak dikebiri?, kapan kita dapat menikmati orgasme pemikiran secara utuh dan bebas? . kita yang bisa menjawabnya.

Comments